Istirahat

She Writes This
4 min readSep 4, 2020

--

Dua gelas kopi yang menanti untuk diminum.

Jumat sore sepulang bekerja, aku menepikan mobilku di depan coffee shop langgananku. Melangkahkan kaki keluar mobil setelah hampir satu jam terjebak macet adalah hal yang melegakan untuk dilakukan. “Akhirnya weekend,” jeritku riang dalam hati. Aku mengunci mobil, lalu melangkah masuk ke coffee shop.

Teduh. Alunan instrumen piano yang diputar di sini memang selalu membuatku merasa teduh.

Aku memesan segelas Cappucino, lalu membawanya ke tempat duduk di dekat jendela. Minggu ini rasanya melelahkan. Tugas satu baru selesai, datang lagi satu, dua, tiga, beranak cucu di meja kerjaku. Istirahat adalah hal yang paling ingin aku lakukan sekarang. Duduk menyesap Cappucino sambil memandang mobil-mobil yang diparkir adalah istirahat pertamaku. “Kapan ya bisa ganti mobil?” tanyaku dalam hati.

Aku meletakkan gelasku. Mataku memandang sepasang opa dan oma yang keluar dari taksi dengan bergandengan tangan. Tanpa aku sadari, bibirku melengkung tertarik ke atas. “Kapan ya punya gandengan?” tanyaku lagi pada diriku sendiri.

Aku berusaha mengusir pikiran itu jauh-jauh. Aku sudah memutuskan untuk menata masa depanku terlebih dahulu sebelum ‘punya gandengan’.

Aku mengecek tabunganku melalui mobile banking, “Kapan tabunganku nambah? Gimana ya caranya nambah pemasukan? Kerja aja satu macem aja udah cape.”

Aku mau mengambil gelasku lagi, tetapi ada satu pesan masuk.

‘Kakak cantik, pulsa adek habis, tolong isiin ya kak 50rb aja deh, ya ya ya?’

Aku terlalu lemah melihat kata-kata pujian. Aku tidak pernah bisa menolak permintaan adikku meski dalam hati kadang menggerutu, “Kenapa sih mintanya ke aku? kan ada kak Nathan yang juga bisa kasi.” Ujung-ujungnya, aku tetap memberikan dia pulsa.

Aku meneruskan istirahat pertamaku. Menikmati Cappucino di sore hari dengan alunan instrumen yang meneduhkan hati. Memandang parkiran dan langit melalui jendela besar ini ditemani lamunan akan masa depan. Menanyakan hal-hal semacam di atas kepada diriku sendiri.

“Quisy..”

Seketika aku mengalihkan pandanganku dan menoleh ke arah suara. Jantungku seketika memompa darah dengan kecepatan mobil balap karena terkejut seseorang memanggilku.

“Eh, hai Dave” balasku canggung. Sudah lama sejak terakhir kali kami bertemu.

“Kamu sendirian aja? Boleh duduk disini?” tanyanya dengan tersenyum. Aku mengangguk.

Dia duduk. Namanya Dave. Laki-laki yang aku kenal dari komunitas kerohanian. “Pulang kerja ya, Sy? Lagi nunggu temen ya?” tanyanya.

“Iya pulang kerja, tapi nggak nunggu siapa-siapa sih. Kamu sendiri ngapain?” balasku. Aku ingin mengutuk diriku yang menanyakan ‘ngapain’, jelas-jelas dia beli kopi -entah apa jenisnya- lalu minum. Aduh.

Dia menyesap kopinya, lalu meletakkannya di meja. “Minum kopi.” jawabnya singkat lalu tertawa kecil.

‘Kan bener. Memang aku aja yang nggak bener, pakai nanya kayak gitu’ ucapku dalam hati lalu ikut menimpali dengan tertawa. Lalu hening. Aku menunggu siapa yang akan memecahkan keheningan.

“Kamu apa kabar? Lama nggak muncul di acara-acara kita. Banyak kerjaan ya?” akhirnya dia bersuara.

Aku mulai menceritakan hari-hari yang aku alami. Bos yang selalu menambah banyak pekerjaanku. Teman kantor yang kerjanya gosipin orang. Mobil yang udah sering banget bermasalah sampai akhir-akhir ini sering naik ojek online ke kantor. Papa dan mama yang selalu bertanya tentang pacar. Adik yang makin lama makin hobi belanja dan menelepon temannya. Rasanya hidupku penuh masalah. Kalau bicara soal tidak muncul di berbagai cara, memang pekerjaan adalah alasan utamaku. Eh! Aku menceritakan hampir semua hal kepadanya, termasuk pemikiranku saat duduk di sini dan memandang ke luar jendela. Astaga.

Dave menghabiskan setengah gelas kopinya, “Pertanyaanku sederhana, jawabanmu panjang lebar ya, nggak kerasa lho kamu cerita 20 menit. Eh tapi bukan maksudku membatasi waktu, Sy,” dia memperbaiki posisi duduknya lalu melanjutkan “Justru kadang kita tuh perlu temen buat cerita dan menumpahkan segalanya. Kadang kita tuh terlalu sibuk sama ini itu, sampai lupa diri sendiri. Mikirin mobil baru, pasangan, keuangan, sampai hal-hal kecil yang lain bukan sesuatu yang salah. Tapi kadang, kita perlu istirahat.”

Aku menatapnya dan menunggu kelanjutan dari ucapannya.

“Kalau tadi kamu nanya aku ngapain, aku nggak tau mau jawab apa karena bagiku istirahat ya dengan minum kopi lalu duduk santai.”

Aku menelan ludahku. Sama.

“Daripada overthinking tentang sesuatu yang nggak bisa kita selesaikan sendiri mending istirahat. Istirahat untuk memainkan peran jadi ‘tuhan’ buat diri kita sendiri. Kamu nggak pernah tahu kenapa adikmu selalu minta pulsa sama kamu daripada minta Nathan, kamu nggak tahu kapan punya pacar dan tabunganmu mencapai targetmu, yang kamu tahu ya kamu hidup setiap hari dan yang harus harus banget kamu tahu ya untuk apa kamu hidup setiap hari.”

Aku tersenyum lega. Dave yang selalu bijak dan penuh nasihat seperti om-om yang amat berpengalaman dalam hidup. Yang dia katakan benar. Aku memang perlu istirahat.

Istirahat bukan hanya bicara soal tidur. Pikirkanlah makna yang lebih mendalam dari sekedar tidur. Berhenti mengandalkan diri dan berhenti berusaha menjadi ‘tuhan’ bagi diri.

Beristirahatlah.

04.09.2020

--

--

She Writes This
She Writes This

No responses yet