#BtB2: Namanya Juga Masa Lalu

She Writes This
4 min readOct 13, 2020

--

“I’m never going back, the past is in the past. Let it go.. let it go..”

Terdengar familiar? Siapa yang belum pernah dengar cuplikan lirik lagu itu? Masa lalu ya ada di masa lalu, eh tapi apa semudah itu kita berdamai dengan masa lalu? Apa semudah itu melupakan masa lalu? Apakah masa lalu tidak berdampak apa-apa dengan kita sekarang? Kali ini, kita akan bahas tentang masa lalu.

Masa lalu biarlah masa lalu.

Terdengar benar, kita memang tidak bisa kembali ke masa lalu. Kita tidak akan pernah bisa mengubah masa lalu. Kenapa? Kita adalah ciptaan yang saat ini berada dalam ruang dan waktu. Waktu terus berjalan secara linear, bukan sirkular. Berjalan linear maksudnya waktu terus berjalan lurus, tidak ada menu atau pengaturan untuk rewind atau playback. Waktu yang berlalu tidak akan pernah kembali lagi. Waktu pada titik kedipan mata sekarang ini pun tidak akan kembali.

Masa lalu memang tidak bisa dikembalikan. Sebagian dari kita mungkin memiliki kenangan pahit, penyesalan, kesedihan, kekecewaan, atau rasa bersalah dalam masa lalu. Sebagian dari kita mungkin sedang berusaha menyembuhkan dari luka masa lalu. Sebagian lagi berusaha bangkit dari kegagalan di masa lalu. Masa lalu kita yang pahit bisa disebabkan oleh berbagai pihak misalnya, orang tua, kakak adik, keluarga besar, teman, pacar, bahkan oleh orang asing yang tidak dikenal. Kamu yang membaca ini, mungkin sejenak terdiam teringat luka atau kepahitan. Hei, kamu sudah di titik ini. Pada bagian ini, kamu boleh mengingat masa lalu yang buruk.

Masa lalu kita adalah sejarah kita. Ada masanya kita berjuang. Misalnya berjuang untuk menyelesaikan sekolah, mengikuti ujian masuk perguruan tinggi, menggapai cita-cita, dan lain-lain. Ada masanya kita melakukan sesuatu untuk pertama kalinya. Masih ingat kapan pertama kali naik sepeda roda empat? Kapan kedua ban bantuan itu dilepas? Masih ingat kali pertama diantar orang tua masuk TK? Bagaimana rasanya memakai seragam merah putih? Bagaimana perasaan ketika berhasil membaca satu buku cerita tanpa bantuan orang tua? Masih ingat sukacita ketika pertama kali menggunakan seragam biru putih? Bagaimana pengalaman ketika mengalami perubahan suara atau bentuk tubuh? Lalu bagaimana rasanya ketika pertama kali memakai seragam putih abu-abu? Masih ingat pertama kalinya diizinkan menyalakan kompor? Bagaimana pengalaman memasak mie instan pertama kali? Bagaimana rasanya mendapatkan KTP? Masih ingat kapan pertama kali diizinkan mengendarai motor? Ingatkah masa mengikuti ujian masuk perguruan tinggi idamanmu? Bagaimana rasanya pertama kali pergi merantau? Momen 'pertama kali' adalah sejarah kehidupan kita yang tidak akan terlupakan. Cobalah mengingat wajah bahagiamu ketika pertama kalinya melakukan segala sesuatu. Ingat kembali momen-momen bahagia itu.

Berdamai dengan masa lalu bukan perkara mudah. Kita perlu kekuatan yang bukan berasal dari diri kita sendiri. Kita adalah makhluk yang terlalu lemah untuk berdiri sendiri menghadapi masa kekelaman. Kita memerlukan pertolongan Tuhan. Ketika menemukan sulitnya berdamai dengan masa lalu, datang pada Tuhan, temukan orang lain yang dapat menolong kita, carilah bantuan.

Kita perlu belajar melepaskan pengampunan yang tiada habisnya. Kita pun perlu adanya pengampunan itu, adakah di antara kita yang tidak pernah berbuat salah? Kita tidak sebaik apa yang kita harapkan baik.

Kita mungkin sulit melihat kesalahan diri kita sendiri karena cenderung melihat kesalahan orang lain. Kita cenderung menyalahkan orang lain tanpa berusaha bercermin. Kita perlu hati yang lembut, mau menerima orang lain yang bersalah, mau mengampuni, bersabar sekalipun menyakitkan, dan bercermin dalam segala keadaan. Berdamai dengan masa lalu = mengampuni.

Apakah mengampuni berarti kita melupakan?

Kita tentu punya memori atau kenangan. Kita tentu pernah merasakan jatuh bangun karena ingin melupakan masa lalu. Semakin kita ingin melupakan, semakin memori itu muncul untuk diingat. Rasanya kurang tepat bila kita menganggap mengampuni = melupakan. Kita tidak akan pernah bisa benar-benar lupa. Berdamai dengan masa lalu berarti mengampuni, tetapi tidak berarti melupakan melainkan menjadikannya pelajaran.

Kita membawa memori masa lalu itu sebagai sebuah pelajaran. Jika kita mau belajar dari masa lalu, maka kita sedang bertumbuh. Kesalahan di masa lalu harus kita jadikan pacuan untuk berubah dan memperbaikinya. Kegagalan di masa lalu hendaknya membuat kita mencari cara mengantisipasi dan mempersiapkan diri untuk yang terburuk. Kekecewaan di masa lalu hendaknya membuat kita sadar bahwa diri ini tidak bisa bersandar atau berharap pada manusia.

Memang sebaiknya kita membiarkan masa lalu tinggal di masa lalu karena kita hidup di masa sekarang. Ambil segala perbekalan memori dan pelajaran dari masa lalu, lalu pakai untuk masa sekarang.

Hati-hati pada kebohongan yang mengatakan:

“Sepertinya keadaanku dulu lebih baik daripada saat ini.”

“Dulu rasanya lebih bahagia ya ketika dia ada di sini.”

“Andai aku dapat memutar waktu.”

“Lebih enak tinggal di Mesir daripada mati di padang gurun.”

Si jahat memang tidak akan berhenti menggoda kita untuk menginginkan masa lalu yang kita anggap lebih baik itu kembali.

Kita ada di masa sekarang. Sekarang menjadi titik waktu yang lebih krusial dan penting daripada masa lalu. Kita tidak akan pernah bisa mengubah masa lalu, tapi masa sekarang, detik ini, titik ini, kita bisa melakukan perubahan.

Masa lalu kita punya kisah yang tentu berbeda. Bagian yang agung dan mencengangkan adalah tidak ada dua orang manusia yang memiliki kisah sama persis. Kisah setiap kita pasti berbeda-beda, orang yang kita pernah temui berbeda, tempat kita tinggal berbeda, dan banyak hal lain yang berbeda. Satu yang sama, waktu yang kita miliki setiap hari adalah 86.400 detik. Tiap detiknya menjadi berbeda karena bergantung pada bagaimana kita mengisinya. Kita dapat mengisinya dengan tawa, tangis, kecewa, sedih, bahagia, dan banyak hal yang lain. Isilah tiap detikmu dengan hal yang diperkenan oleh Tuhan, sehingga kamu tidak akan menyesali tiap detik yang berlalu.

The past isn’t something we should bring to the future. The present is more important than yesterday.

Cheer up!

Blessed to be blessings.

--

--

She Writes This
She Writes This

No responses yet