#BtB3: Mengampuni (&/=) Melupakan
Orang bilang mengampuni berjalan beriringan (&) dengan melupakan. Orang bilang mengampuni belum tentu berarti melupakan, bisa jadi itu hanya melupakan (/). Orang bilang mengampuni berarti (=) melupakan. Jadi, mana yang benar?
Kita tentu pernah dikecewakan, disakiti, dicaci, direndahkan, dan hal lain yang melukai kita. Seperti yang sudah dibahas pada #BtB 2, kita tidak akan pernah bisa mengubah masa lalu. Bagian kita sekarang adalah masa sekarang dan masa depan. Semua luka perlu untuk diobati dan dirawat. Jika terlambat, sangat mungkin dia menjadi bernanah yang berujung harus diamputasi. Begitu pula dengan luka-luka dalam kehidupan kita yang harus segera dibereskan sebelum semakin menjadi-jadi.
Tidak ada orang yang tidak pernah terluka. Kita semua pernah terluka. Kita manusia yang perasa. Kita manusia yang tidak pernah menyukai rasa sakit. Kita manusia yang selalu mendamba kebahagiaan dan ketenangan. Kenyataannya, kita manusia yang pasti punya luka. Masing-masing orang memiliki luka yang berbeda, ada yang meninggalkan bekas amat dalam, ada yang sudah tidak berbekas, ada yang terlihat, ada yang tidak terlihat, ada yang terasa sakit, ada yang hanya terasa seperti digigit semut. Kita semua berbeda.
Luka dalam hidup kita hanya bisa dibereskan dengan mengampuni. Sama seperti hidup kita yang penuh kesalahan dan penyesalan juga dibereskan dengan pengampunan Tuhan.
Tapi…
Ketika kita terluka, mengampuni rasanya selalu menjadi pilihan terakhir. Lebih sering kita memunculkan emosi marah, tidak terima, kecewa, melawan, lari dari masalah, bahkan menyalahkan orang lain.
Mengampuni & Melupakan. Apa ini yang seharusnya kita lakukan?
Kita adalah manusia yang hidupnya ada dalam suatu narasi. Narasi tersebut berisi banyak memori. Mana yang lebih mudah? Melupakan kebaikan seseorang atau melupakan kejahatan seseorang?
Kita tidak bisa memaksa diri kita untuk mengampuni sekaligus melupakan. Kedua hal ini akan terasa semakin menyiksa. Terkadang, ketika kita ingin melupakan justru hal-hal itu semakin muncul dan melekat dalam ingatan, bukan? Usaha kita melupakan luka, hanya menjadi pelarian dari masalah yang sesungguhnya yaitu, mengampuni.
Mengampuni / Melupakan. Bagaimana dengan ini?
Bahaya besar sebenarnya sedang mengincar kita. Kita tidak benar-benar mengampuni. Kita tidak juga melupakan. Kita bisa saja terjebak untuk memalsukan keadaan. Kita berlaku seolah-olah sudah mengampuni, padahal belum. Bersikap manis di depan orang yang menyakiti kita, padahal dalam hati sedang berkecamuk mencari waktu untuk membalas dendam.
Kita mengatakan sudah melupakan luka itu, apa benar? Kita mungkin hanya mencari posisi aman dengan berusaha melupakan tanpa memberikan penyelesaian. Melupakan mungkin hanyalah usaha untuk meredam rasa sakit, menekan nyeri, dan pernih. Hal ini berbahaya karena bisa jadi luka itu muncul di masa yang akan datang dan membuat kita bagai bom waktu yang akhirnya meledak.
Mengampuni = melupakan?
Memberikan pengampunan bukan berarti menghapus ingatan mengenai rasa sakit dan luka diri. Kita tidak akan bisa benar-benar lupa. Ajaibnya manusia ini. Mengampuni memang bukan hal yang mudah. Kita perlu belajar untuk memiliki hati yang luas, besar, dan dalam supaya bisa mengampuni.
Mengampuni dimulai dengan mengakui dan menerima rasa sakit, terluka, tanpa berusaha menyalahkan pihak lain. Menyediakan hati yang penuh kasih untuk mengampuni. Of course, it takes time. Semakin cepat kita bisa memberikan pengampunan, semakin cepat kita akan merasa damai.
Bagaimana supaya kita bisa mengampuni? Milikilah kasih. Orang yang kurang memiliki kasih, akan selalu menginginkan pengampunan tanpa mau belajar mengampuni. Orang yang kurang mengasihi, akan selalu berfokus pada dirinya tanpa berusaha mengerti orang lain.
Kita dan mereka yang menyakiti kita adalah sama-sama manusia yang terbatas dan memang sering berbuat salah. Kita juga pernah ada dalam posisi memohon pengampunan dari orang lain, kan? Kita semua pernah berlutut dan memohon pengampunan. Jika kita mengetahui posisi itu, kita akan semakin mudah mengampuni.
“Tuhan sendiri pasti tidak lupa dengan dosa-dosa kita. Jikalau Tuhan lupa, Ia tidak bisa dipercaya karena Ia tidak Mahatau. Ia bukannya lupa, tetapi tidak mengingat-ingat dan tidak mengungkit-ungkit lagi.” (Kristanto, 2006)
Setelah mengampuni, apa kita langsung bisa lupa? Apa kita perlu berusaha keras untuk melupakannya dan menganggap tidak terjadi apa-apa? Tidak. Sekali lagi, kita adalah manusia yang hidup dengan memori-memori. Luka dan rasa sakit dalam hidup kita adalah bagian dari memori itu, bagian dari kehidupan kita yang utuh. Kita bisa belajar dari rasa sakit. Iya, belajar untuk mengampuni, bangkit, dan mengusahakan kedamaian dalam diri. Melupakan akan lebih tepat bila diartikan dengan tidak mengingat-ingat atau tidak mengungkit-ungkit luka itu lagi.
Seiring berjalannya waktu, kita akan menemukan diri kita penuh damai jika kita memang benar-benar sudah mengampuni. Ketika memori rasa sakit dan luka itu muncul, kita akan baik-baik saja. Ketika orang yang menyakiti kita lewat di depan kita dengan senyuman termanisnya, kita akan bisa memberi balasan dengan senyuman yang tulus dan teramat manis.
“Kita mengasihi itu berarti membuka lembaran baru setiap kali kita berjumpa dengan orang yang bersalah kepada kita.” (Kristanto, 2006)
You are forgiven, so forgive others.
Blessed to be blessings!